Rabu, 11 Januari 2012

SYED ZAINAL ABIDIN BIN SYED MUHAMMAD ZAHIR SHAHABUDDIN : PAHLAWAN KEDAH MATI SYAHID MENENTANG SIAM 1831

Sharifah Fatimah Syed Zubir 

Syed Zainal Abidin bin Syed Muhammad Zahir dilahirkan di Alor Star,Kedah sekitar tahun 1790an. Ayahnda beliau Syed Muhammad Zahir bin Syed Hussein Shahabuddin berasal dari Palembang dan berhijrah ke Kedah sekitar tahun 1770-80. Syed Zainal Abidin lebih terkenal dengan nama Tunku Kudin atau Kudin, manakala ayahnda beliau dikenali dengan nama Tengku Raden Shariff Muhammad Zahir dan Raja Syed Tam. Ayahnda Syed Muhammad Zahir, Pangeran Syed Hussein bin Syed Muhammad Zahir Shahabuddin telah berkahwin dengan Raden Nayu Jendul anaknda Seri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikromo dengan Mas Ayu Ratu aka Zamnah bt Wan Abdul Jabbar bin Wan Hayat.1
Dengan perkahwinan ini beliau dikurniakan gelaran Pangeran dan anak2 beliau bergelar Raden oleh Seri Paduka Sultan Palembang.Seri Paduka Sultan Mahmud Badaruddin mempunyai 33 orang anak. Dengan Mas Ayu Ratu aka Zamnah bt Wan Abdul Jabbar, lima orang anak : Raden Nayu Jendul, Raden Rustam bergelar Arya Kesuma, Raden Pilit bergelar Pangeran AdiPati Binjar Kutama, Raden Nayu Fatimah dan Raden Nayu Aisyah.
 http://www.facebook.com/notes/sharifah-fatimah-syed-zubir/syed-zainal-abidin-bin-syed-muhammad-zahir-shahabuddin-pahlawan-kedah-mati-syahi/453431191471?notif_t=note_tag

Selasa, 10 Januari 2012

Pemuda Kesultanan Palembang Darussalam

http://www.facebook.com/photo.php?fbid=284478171575937&set=a.284478144909273.76090.100000412686468&type=1&theater'Kiagus Imran Mahmud
Kalu dak katik yang ngalah, rasonyo yang namonyo Palembang Darussalam tinggal impian hampa. Kito harus berpedoman ke depan. Lupoke perbedaan yang idak berarti. Ado tanggapan wong Palembang lain, dak? Jangan ngaleb bae. Payo bergerak! Apo lah disunat turunan Residen Belando. Wong Sundo Eman Rais bae peduli. Mungkin inilah sebab ngapo wong Palembang dak galak balik. DR PhD kito banyak tinggal di Jakarta, Bandung dan Yogya. Dosen banyak di luar galo. Dosen2 UNSRI sudah banyak dikirim ke Prancis, Kanada, dsb. Maksud kulo: kito punyo banyak wong pinter -- berpendidikan. Mereka itu meini dak seduli lagi. Semoga hal ini dak lamo2. KIM 

Minggu, 08 Januari 2012

Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam

http://mujahidin79.wordpress.com/2011/03/21/silsilah-palembang-darussalam/http://mujahidin79.wordpress.com/2011/03/21/silsilah-palembang-darussalam/

Nasab Keluarga Besar Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam

Nasab Keluarga Besar Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam
Cerita ini bermula ketika ada seorang ahli nasab dari kalangan Hadhrami, yakni yang bernama Sayyid Ali bin Ja’far Assegaf, mengadakan cacah jiwa pertama kali pada tahun 1932 dari daerah ke daerah. Pada perjalanannya tersebut, beliau menemukan silsilah pada seorang keturunan bangsawan Palembang yang membuktikan keterkaitan antara bangsawan Kesultanan Palembang Darussalam dengan Rasulullah Muhammad SAW. Sebagian catatan tersebut kini tersimpan pada lembaga Naqobatul Asyraaf, namun tak banyak dari kalangan keturunan bangsawan Palembang Darussalam yang tahu.
Memang sudah menjadi suatu kebiasaan pada keluarga keturunan bangsawan Palembang Darussalam untuk mencatatkan silsilah keluarga mereka dan mewariskannya dari generasi ke generasi. Hanya saja kebiasaan tersebut mulai berkurang di masa sekarang ini, dan hanya sebagian kecil saja yang masih peduli dengan silsilah keluarganya bahkan lembaran-lembaran naskah silsilah keluarganya sudah banyak yang rusak atau hilang entah kemana.

Oleh karena itu, berawal dari rasa kepedulian tentang sejarah keluarga zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, saya dibantu dengan beberapa kerabat mulai melakukan pengumpulan naskah-naskah silsilah tersebut agar dapat didata serta diperbaharui catatannya.
Berikut adalah beberapa kumpulan catatan yang telah kami temukan, yang dapat menjelaskan hubungan antara keluarga bangsawan Palembang Darussalam dengan Rasulullah Muhammad SAW:

Gelar Raden-Raden Ayu dan Masagus-Masayu :
1. Dari jalur keturunan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidil Iman bin Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) turunan Sunan Giri Azmatkhan Al-Husaini*1
2. Dari jalur Pangeran Mangkubumi Nembing Kapal bin Raden Santri (Pangeran Purbanegara) bin Kemas Pati bin Panembahan Bawah Sawoh dari Kerajaan Jambi.

Gelar Kemas-Nyimas:
1. Dari jalur keturunan Ki Gede Ing Suro Mudo (Kemas Anom Dipati Jamaluddin) bin Ki Gede Ing Ilir bin Pangeran Sedo Ing Lautan (tautan ke Sunan Gunung Jati & Sunan Ampel)*2
2. Dari jalur keturunan Kemas Tumenggung Yudapati bin Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) turunan Sunan Giri Azmatkhan Al-Husaini*1
3. Dari jalur keturunan Tumenggung Nagawangsa Ki Mas Abdul Aziz bin Pangeran Fatahillah Azmatkhan Al-Husaini
4. Dari jalur keturunan Mas Syahid (Amir Hamzah) bin Sunan Kudus (Ja’far As Shadiq) Azmatkhan Al-Husaini
5. Dari jalur keturunan Mas H. Talang Pati dan Mas H. Abdullah Kewiran bin Raden Santri bin Raden Umar Said (Sunan Muria) bin Raden Joko Said (Sunan Kalijaga)

Gelar Kiagus-Nyayu :
1. Dari jalur keturunan Kemas Tumenggung Yudapati bin Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Sedo Ing Pasarean) turunan Sunan Giri Azmatkhan Al-Husaini*1
2. Dari jalur keturunan Ki Bagus Abdurrohman bin Pangeran Fatahillah Azmatkhan Al-Husaini
3. Dari jalur keturunan Kiagus Yahya bin Pangeran Purbaya bin Raden Sutawijaya Panembahan Senopati Ing Alaga
4. Dari jalur keturunan Tuan Faqih Jalaluddin Azmatkhan Al-Husaini*3
Rincian Nasab *1:
Pangeran Ratu Jamaluddin Mangkurat V (Muhammad Ali Sedo Ing Pasarean) bin
Tumenggung Manco Negaro (Maulana Fadlullah) bin
Pangeran Adipati Sumedang (Maulana Abdullah) bin
Pangeran Wiro Kesumo Cirebon (Ali Kusumowiro/Muhammad Ali Nurdin/Sunan Sedo Ing Margi) bin
Sunan Giri / Muhammad ‘Ainul Yaqin (bin Maulana Ishaq bin Ibrahim Asmara bin Husein Jamaluddin Akbar Azmatkhan Al-Husaini)
Rincian Nasab*2 :
Ki Gede Ing Suro Mudo (Kemas Anom Dipati Jamaluddin) bin
Ki Gede Ing Ilir bin
Pangeran Sedo Ing Lautan bin
Pangeran Surabaya bin
Pangeran Kediri bin
Panembahan Perwata (beribukan Ratu Pembayun binti Sunan Kalijaga + Dewi Sarokah binti Sunan Gunung Jati) bin
Sultan Trenggana (bribukan Dewi Murtasimah binti Sunan Ampel) bin
Raden Patah
Rincian Nasab*3 :
Tuan Syekh Faqih Jalaluddin bin
Mas Raden Kamaluddin Jamaluddin bin
Mas Raden Fadhil bin
Pangeran Panembahan Muhammad Mansyur bin
Kyai Gusti Dewa Agung Krama bin
Sunan Kerta Sari bin
Sunan Lembayun bin
Sunan Krama Dewa bin
Sembahan Dewa Agung Fadhil bin
Sayyid Sembahan Dewa Agung bin
Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Azmatkhan Al-Husaini
Baik Fatahillah,Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Krama Dewa merupakan Turunan Sayyid Husain Jamaluddin Akbar Azmatkhan Al-Husaini yang nasabnya :
Sayyid Husain Jamaluddin Akbar bin
• Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin
• Sayyid Abdullah AZMATKHAN AL-HUSAINI bin
• Sayyid Abdul Malik AZMATKHAN AL-HUSAINI bin
• Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih bin
• Muhammad Shahib Mirbath bin
• Ali Khali Qasam bin
• Alwi bin
• Muhammad bin
• Alwi bin
• Ubaidillah bin
• Ahmad al-Muhajir bin
• Isa bin
• Muhammad bin
• Ali Al-Uraidh bin
• Ja’far Shadiq bin
• Muhammad Al-Baqir bin
• Ali Zainal Abidin bin
• Imam Husein (bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Mutholib)
• Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Mutholib

http://anandakemas.wordpress.com/2010/05/23/nasab-keluarga-besar-zuriat-kesultanan-palembang-darussalam/

Selasa, 03 Januari 2012

MEMBEDAH DUALISME KESULTANAN MELALUI GARIS NASAB DAN SILSILAH

MEMBEDAH DUALISME KESULTANAN MELALUI GARIS NASAB DAN SILSILAH http://fps2b.blogspot.com/2007/10/membedah-dualisme-kesultanan.html

Oleh : Kemas Ari dan H. Ahmadi

Membaca berita yang dimuat oleh Berita Pagi tentang Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam, Minggu 1 Juli 2007. membuat saya tertarik untuk sedikit menulis, dan awalnya saya hanya mengikuti saja berita-berita tersebut di media massa sejak Nopember 2006, dan terakhir pada Diskusi pelurusan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) yang diadakan di Auditorium IAIN Radn Fatah 30 Juni 2007, terlepas dari siapa penyelenggaranya serta apa yang ingin dicapai serta manfaatnya. Saya Melihat akar permasalahan sebenarnya berawal dari penobatan Sultan Iskandar sebagai sultan yang kedua (19/11/2006) jauh sebelumnya (3/3/2003) telah dinobatkan SMB III Prabudiradja, dan yang menjadi akar permasalahan adalah masalah Legitimasi dan Legalisasi Sultan yang bedasarkan ahli nasab dan silsilah.Untuk mencari siapa sebenarnya yang lebih berhak untuk menjadi Sultan Palembang sebagai penerus Sultan-sultan Kesultanan Palembang Darussalam tentulah harus melihat Garis Nasab dan Silsilahnya Serta bukti-bukti lain yang mendukungnya atau setidaknya mana diantara keduanya yang lebih mendekati. Untuk itu perlu pemahaman terlebih dahulu tentang Silsilah dan Nasab. Silsilah berasal dari kata/bahasa arab, yang bisa diartikan “Hubungan yang berkesinambungan” atau mata rantai dalam pertalian keluarga. Sedangkan yang dimaksud Nasab adalah Keturunan langsung berdasarkan Hubungan Darah. Jadi Nasab dan Silsilah itu suatu definisi yang berbeda namun erat kaitannya, meskipun demikian banyak terjadi kesalahan dalam penafsiran antara silsilah dan Nasab.Perbedaan definisi itu sangat jelas apabila kita merujuk pada suatu hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi Kullu Bani Adam Yantamuuna ila Asobatin illa waladun Fatimatin Fa’ ana Waliyuhum wa ‘ana Asobatuhum (HR. Thobroni Muslim dan Abu Ya’ala). Yang artinya : Semua Bani Adam (Manusia) mempunyai ikatan Nasab Ayahnya kecuali anak-anak Fatimah, akulah walinya (Ayahnya) dan Akulah asobah (ikatan Keturunan) mereka. Menyikapi hadist Nabi ini jangan sampai kita masih terjebak dengan definisi Nasab dan Silsilah yang keliru.Pada dasarnya kita sebagai manusia tentu mempunya garis nasab keatas yaitu Ayah, Kakek, Buyut, Piyut dan seterusnya. namun seringkali kita tidak mengetahui atau memiliki silsilah yang jelas. Hal ini terjadi karena kelalaian, dan kebodohan kita sendiri yang tidak meneruskan Tradisi leluhur kita yang sejak dulu selalu membuat Silsilah keluarga agar dikemudian hari anak cucu kita mengetahu garis Nasab dan silsliah keluarganya jangan sampai ketika mengaku sesama wong Palembang tapi ketika ditanya Nasab dan silsilahnya tidak tau jangankan untuk menguraikan 7 turunan keatas mungkin menyebut 4 keturunan keatas saja kita sudah kebingungan, coba tanyakan pada diri kita masing-masing.Hai Inilah yang menyebabkan terjadinya Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam seharusnya jika kita tidak tahu dengan jelas garis Nasab dan Silsilah hendaknya kita mencari tahu terlebih dahulu, kemudian dicocokan dan akan diketahui siapa sebenarnya yang lebih cocok untuk menjadi sultan paling tidak mendekati kebenaran. Jangan dibuat seolah-olah benar, jika ini terjadi maka kita akan merusak sejarah dan keluarga kita sendiri hasil akhirnya permusuhan dan perpechan. contoh yang lain, ketika saya berkunjung ke Museum SMB II (Dinas Pariwisata Kota Palembang) saya sangat-sangat terkejut karena disana ada dua Silsilah Kesultanan Palembang yang berbeda. Silsilah pertama dibuat oleh Djohan Hanafiah (Budayawan) dan yang satunya lagi dibuat oleh R.M. Husin Natodiradjo, kedua silsilah ini menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kenapa ini bisa terjadi?.Jika kita memperhatikan dengan cermat dan teliti, maka akan Ada dua penapsiran yang berbeda seharusnya ini tidak perlu terjadi. Di bagian Jero (dalam) merujuk kepada Raden Paku atau Sunan Giri hingga ke Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dibagian luan (luar) merujuk ke Raden Fatah hingga ke Nabi Muhammad SAW. Begitu juga didalam beberapa buku sejarah Kesultanan Palembang Darussalam masing-masing membuat silsilah yang berbeda misalnya buku M. Ali Amin dalam buku KHO Gadjahnata akan berbeda silsilahnya dengan buku yang dibuat oleh Kiagus Mas’ud dan pengarang yang lain, kenapa ini bisa terjadi? Jangan-jangan ada yang membelokan sejarah. Itulah sebabnya saya melihat Dualisme Sultan ini muncul kepermukaan karena ada yang membelokkan sejarah untuk mendapatkan Legitimasi dan legalisasi. Palembang dengan sejarahnya yang panjang memang sangat menarik untuk kembali diteliti atau dikaji ibarat mutiara yang hilang (terpendam), Para Sejarawan/Budayawan/Agamawan/ dan Arkeolog hingga pekerja senipun tertarik untuk ikut mengkajinya.
Memang tidak menjadi masalah bukankah sejarah itu sesuatu yang universal (umum) tapi jangan dibelok-belokan, kalo boleh mengutip Istilah yang disampaikan Saudi Berlian dalam makalahnya tentang Legitimasi Sosial bahwa dalam sejarah manusia akan ada yang tetap berjalan lurus meskipun jalannya tidak lurus, sebalikanya akan ada yang berjalan tidak lurus meskipun jalanya lurus, bukankah ini sebuah ironi? Inilah kenyataan meskipun kita selalu berdo’a kepada sang pencipta untuk ditunjukkan jalan yang lurus “...Ya Allah tunjukkan aku jalan yang lurus, jalan yang engkau ridhoi.....”dst. tentu akan ada saja orang-orang dibalik layar yang sengaja membelokkan sejarah, biasanya orang ini termasuk orang yang suka “SMS” yaitu Susah Melihat orang Senang dan Senang Melihat orang Susah. Mudah-mudahan kita dihindari dari sifat ini.Dengan kehadiran atau munculnya dualisme Kesultanan, yang mengundang banyak perdebatan sebaiknya diselesaikan dengancara baik dan musyawarah janganlah terlalu menurutkan hawa nafsu hingga membuat kebingungan banyak orang mulai dari kalangan atas hingga orang-orang awam turut bingung seperti kata Ahmad Bastari Suan dalam judul makalahnya sebaiknya “Satu Palembang satu Sultan” agar kita terhindar dari Adu Domba (Devide at Impera) orang/kelompok lain yang memang ingin memecah belah persatuan kita selaku wong Palembang, sadarkah engkau saudaraku?.Dalam menyikapin hal ini tidak hanya sejarahwan/budayawan saja yang harus berperan aktif namun diharapkan peranan aktif dari berbagai pihak yang dianggap mampu untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini misalnya pemerintah serta tokoh-tokoh Ulama dan Habaib, bukankah sejak dulu para Ulama dan Habaib selalu menjadi guru sekaligus Penasehat Sultan bahkan ada yang dijadikan Menantu! kenapa sekarang para ulama dan Habaib diam saja?, saya pun menjadi bingung. Apakah semua ini disebabkan oleh ketidak tahuan? atau memang tidik peduli?, mungkin juga sengaja dibiarkan dengan alasan ini kan bukan urusan saya! Mengutip Ungkapan dari Mantan Presiden kita “Gusdur”. “Gitu aja kok repot..”!!Melihat dari dekat sejarah panjang dari Sejarah KPD sejak awal berdirinya, dasar yang dijadikan rujukkan adalah hukum Islam meskipun tidak dijalankan seratus persen, namun tetap berusaha untuk tidak menyimpang jauh dari Syariat Islam. Bila berdirinya Demak tidak terlepas dari peran Wali songo di Pulau Jawa dan yang menjadi Mufti para wali pemimpin umat pada waktu itu adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Begitu juga dengan KPD tanpa diprakarsai peran Ulama dan Habaib rasanya sulit untuk mendapatkan Legitimasi dan Legalisasi umat (wong Palembang).
Dikarenakan didalam diri pribadi seorang Sultan harus mempunyai sifat-sifat Nabi yaitu Fatonah, Amanat, Siddik, dan Tabligh bukankah dalam diri sultan itu sendiri memang sosok yang agamawan sebagai panutan umat hal ini terbukti dengan gelar sultan Abdurrahman yang bergelar Kholifatul Mukminin Sayidul Imam Ia pun sebagai pendiri Kesultanan dan pemberlakuan Islam sebagai agama negara (Kesultanan). Jadi peran Ulama serta Habaib sangat diperlukan apalagi dengan munculnya Dualisme Sultan. Garis Nasab dan Silsilah harus dijadikan rujukan utama, mau tidak mau Ulama dan Habaib merupakan faktor penting yang bisa menetralisir keadaan, jangan sampai konflik ini terus berkepanjangan. Libatkan semua komponen bila dirasakan perlu!.Timbul pertanyaan Mengapa harus ulama/Habaib? Jawabnya Ulama dan Habaib mempunyai pertanggung jawababan ganda: 1. Sebagai orang Islam Ulama dan Habaib serta kita semua, berkewajiban untuk menegakkan Syarait Islam 2. sebagai keturunan nabi Muhammad SAW. Adalah kaum yang memiliki eksistensi dalam soal nasab serta silsilah. Jangan sampai para Ulama dan Habaib semakin ditinggalkan oleh umat atas ketidak peduliannya tidak responsif terhadap permasalahan yang ada.Sebagai renungan dalam catatan sejarah bahwa bahwa Sultan M. Mansyur berkata dengan bijak dan sangat jelas ketika melihat akan terjadinya dualisme kesultanan, terlihat sikapnya sebagai seorang Sultan beliau menyatakan dengan kalimat bahwa....”Adiknyalah yang pantas untuk meneruskan trah kesultanan”, namun apabila melihat putranya yang memiliki karisma beliau juga menyatakan bahwa “Putranya lebih pantas dan berhak untuk melanjutkan kesultanan”. Akhir dari kejadian ini maka SMB I dapat membuktikan bahwa memang dirinya mampu untuk mempersatukan KPD dalam satu pemerintahan.
Dilihat dari peristiwa tersebut diatas mungkinkah dijaman reformasi ini bisa dijadikan landasan untuk menjadikan Palembang yang satu dalam membangun Pemerintahan, agama, adat istiadat, serta budaya Palembang yang hampir punah seiring perjalanan waktu. Tentu jawabannya seperti yang telah saya tulis diatas membutuhkan semua peranan dari berbagai pihak termasuk Ulama dan Umaro serta Sejarahwa, maupun Budayawan. Karena urusan Dualisme Sultan bukan hanya urusan keluarga semata tetapi menjadi urusan dan bagian kita semua sebagai Wong Palembang. Apalagi SMB II telah menjadi Pahlawan Nasional tentu ini menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. sebagaimana Jogjakarta, dan Palembang tanpa Sultan ibarat negeri yang tak bertuan. Bukankah kita sepakat ingin menjadi negeri ini sebagai tempat yang aman dan tenteram seperti nama Kerajaan kita Palembang Darussalam “Palembang Negeri yang Aman”, semoga!!!

Penguasa dan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam

Penguasa dan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam PDF Cetak E-mail
Penilaian Pengguna: / 3
BurukTerbaik 
Info Palembang - Sejarah Palembang
Sunday, 14 September 2008
Penguasa dan Sultan Kesutanan Palembang
triyono-infokito
Sejarah panjang terbentuknya Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17, dapat kita runut dari tokoh Aria Damar, seorang keturunan dari raja Majapahit yang terakhir. Kesultanan Palembang Darussalam secara resmi diproklamirkan oleh Pangeran Ratu Kimas Hindi Sri Susuhanan Abdurrahman Candiwalang Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (atau lebih dikenal Kimas Hindi/Kimas Cinde) sebagai sultan pertama (1643-1651), terlepas dari pengaruh kerajaan Mataram (Jawa). Corak pemerintahanya dirubah condong ke corak Melayu dan lebih disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Tanggal 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang Darussalam dihapuskan oleh penjajah Belanda dan kota Palembang dijadikan Komisariat di bawah Pemerintahan Hindia Belanda (kontrak terhitung 18 Agustus 1823).
Berikut beberapa nama penguasa/raja dan Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Palembang Darussalam.
No Nama Penguasa Tahun Makam Keturunan
1 Ario Dillah (Ario Damar) 1455 – 1486 Jl. Ario Dillah III, 20 ilr Anak Brawijaya V
2 Pangeran Sedo ing Lautan (diganti putranya) s.d 1528 1 Ilir, di sebelah Masjid Sultan Agung Keturunan R. Fatah
3 Kiai Gede in Suro Tuo (diganti saudaranya) 1528 – 1545 1 Ilir, halaman musim Gedeng Suro Anak R Fatah
4 Kiai Gede in Suro Mudo (Kiai Mas Anom Adipati ing Suro/Ki Gede ing Ilir) (diganti putranya) 1546 – 1575 1 Ilir, kompleks makam utama Gedeng Suro Saudara Kiai Gede in Suro Tuo
5 Kiai Mas Adipati (diganti saudaranya) 1575 – 1587 1 Ilir, makam Panembahan selatan Sabo Kingking Anak Kiai Gede in Suro Mudo
6 Pangeran Madi ing Angsoko (diganti adiknya) 1588 – 1623 20 ilir, candi Angsoko Anak Kiai Gede in Suro Mudo
7 Pangeran Madi Alit (diganti saudaranya) 1623 – 1624 20 Ilir, sebelah RS Charitas Anak Kiai Gede in Suro Mudo
8 Pangeran Sedo ing Puro (diganti keponakannya) 1624 – 1630 Wafat di Indralaya Anak Kiai Gede in Suro Mudo
9 Pangeran Sedo ing Kenayan (diganti keponakannya) 1630 – 1642 2 Ilir, Sabokingking  
10 Pangeran Sedo ing Pasarean (Nyai Gede Pembayun) (diganti putranya) 1642 – 1643 2 Ilir, Sabokingking Cucu Kiai Mas Adipati
11 Pangeran Mangkurat Sedo ing Rejek (diganti saudaranya) 1643 – 1659 Saka Tiga, Tanjung Raja Anak Pangeran Sedo ing Pasarean
12 Kiai Mas Hindi, Pangeran Kesumo Abdurrohim (Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam) (diganti putranya) 1662 – 1706 Candi Walang (Gelar Sultan Palembang Darusslam 1675) Anak Pangeran Sedo ing Pasarean
13 Sultan Muhammad (Ratu) Mansyur Jayo ing Lago (Diganti saudaranya) 1706 – 1718 32 Ilir, Kebon Gede Anak Kiai Mas Hindi
14 Sultan Agung Komaruddin Sri teruno (diganti keponakannya) 1718 – 1727 1 Ilir, sebelah Masjid Sultan Agung Anak Kiai Mas Hindi
15 Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo (diganti putranya) 1727 – 1756 3 Ilir, Lamehabang Kawmah Tengkurap Anak Sultan Muhammad Mansyur Jayo ing Lago
16 Sultan/Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (diganti putranya) 1756 – 1774 3 Ilir, Lemahabang (wafat 1776) Anak Sultan Mahmud Badaruddin I
17 Sultan Muhammad Bahauddin 1774 - 1803 3 Ilir, Lemahabang Anak Sultan Ahmad Najamuddin I
18 Sultan/Susuhunan Mahmud Badaruddin II R. Hasan 1803 - 1821 Dibuang ke Ternate (wafat 1852) Anak Sultan Muhammad Bahauddin
19 Sultan/Susuhunan Husin Dhiauddin (adik SMB II) 1812 – 1813 Wafat 1826 di Jakarta. Makam di Krukut, lalu dipindah ke Lemahabang Anak Sultan Muhammad Bahauddin
20 Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (putra SMB II) 1819 – 1821 Dibuang ke Ternate Anak SMB II
21 Sultan Ahmad najamuddin IV Prabu Anom (putra Najamuddin II) 1821 – 1823 Dibuang ke Manado 25-10-1825. Wafat usia 59 tahun Anak Sultan Husin Dhiauddin
22 Pangeran Kramo Jayo, Keluarga SMB II. Pejabat yang diangkat Pemerintah Belanda sebangai Pejabat Negara Palembang 1823 – 1825 Dibuangke Purbalingga Banyumas. Makam di 15 Ilir, sebelah SDN 2, Jl. Segaran Anak Pangeran Natadiraja M. Hanafiah
Sumber: ‘Kesultanan Palembang’, Ir. Nanang S. Soetadji
note:
Kami menerima koreksi apabila pada silsilah di atas terdapat kekeliruan.

Kesultanan Berujung Perpecahan

Kesultanan Berujung Perpecahan

Posted by infokito™ pada 22 Oktober 2007
Keinginan merekonstruksi keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam justru membuat masyarakat Palembang terbelah. Tak lain karena munculnya dua orang yang menyatakan diri sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III, Kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1825.Namun, selama tiga tahun terakhir, ada keinginan masyarakat Palembang menghidupkan kembali kesultanan tersebut. Adalah Raden Mas Syafei Prabu Diraja, yang kemudian mengklaim diri sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III pada 2003 lalu. Perwira polisi ini mengklaim telah menerima wangsit dan diangkat Sultan Mahmud Badaruddin III, dengan gelar kebangsawanan Sultan Raden Muhammad Syafei Prabu Diraja. Klaim Syafei Prabu Diraja rupanya tak serta merta diakui.
Pasalnya, pada Oktober 2006, zuriat wong Palembang yang berhimpun dalam Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam mengukuhkan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III dengan gelar kebangsawanan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Raden Mahmud Badaruddin merupakan seorang pengusaha dan pernah aktif pada organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sumatera Selatan.
Dualisme ini kemudian bergulir menjadi perbincangan, bahkan perdebatan hangat di masyarakat Palembang, baik di media massa maupun di forumforum seminar. Siapa ahli nasab dari Kesultanan Palembang Darussalam yang berhak menerima gelar sultan, apakah Raden Mas Syafei Prabu Diraja atau Mahmud Badaruddin? Seniman Palembang Taufik Wijaya menyebutkan, dari hasil beberapa penelitian tentang sejarah zuriat, diketahui bahwa kedua orang tersebut sebenarnya bukan ahli nasab. Menurut dia, Raden Mas Syafei Prabu Diraja merupakan keturunan istri keenam Sultan Mahmud Badaruddin II,s edangkan Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari sultan sebelumnya, yakni Sultan Mansyur Jayo Ing Lago.
Raden Mas Prabu Diraja merasa berhak menjadi sultan. Sebab, dia merupakan putra sultan terakhir Palembang Sultan Mahmud Badaruddin II, meskipun anak selir keenam, Mas Ayu Ratu Ulu. Selir ini memiliki anak bernama Pangeran Prabu Dirajo Haji Abdullah yang merupakan piut dari Syafei Prabu Diraja. Menurut Taufik, klaim Syafei Prabu Diraja sebagai sultan bertentangan dengan hasil penelitian sejarah yang pernah dilakukan para peneliti maupun pemerintah Sumatera Selatan tentang sejarah perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II pada 1980.
Syafei Prabu Diraja dinilai mengabaikan silsilah keberadaan dua sultan setelah Sultan Mahmud Badaruddin II, yakni Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom. ”Selain itu, sampai saat ini tidak ditemukan adanya wasiat para sultan yang isinya amanat meneruskan keberadaan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai sebuah kekuasaan atau pemerintahan setelah mereka diasingkan Belanda,” kata Taufik.
Di sisi lain, Raden Mahmud Badaruddin diangkat sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III oleh musyawarah Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, pada Oktober 2006 lalu. Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam merupakan kumpulan zuriat 10 sultan yang pernah berkuasa di Palembang, yang tersebar di berbagai daerah di nusantara.
Di antara mereka yang bermusyawarah tersebut, terdapat ahli nasab dari zuriat Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom, baik yang berada di Ternate, Palembang, maupun Jakarta. Mereka sepakat menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam sebagai simbol budaya, bukan sebagai sebuah kekuasaan baru. Menurut pendiri Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam, Djohan Hanafiah, pengangkatan Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Mahmud Badaruddin III karena yang bersangkutan masih keturunan zuriat sultan yang pernah berkuasa di Palembang, yakni Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago.
Alasan lainnya, karena dia juga memiliki kepedulian pada peninggalan sejarah budaya Kesultanan Palembang Darussalam. Di antaranya itu diwujudkan dengan memperbaiki makam para sultan Palembang, Candi Walang, serta mendukung revitalisasi adat istiadat Kesultanan Palembang Darussalam. ”Raden Mahmud Badaruddin juga menyatakan siap mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia,”kata Djohan.
Pemkot Tidak Memihak
PEMERINTAH Kota Palembang menegaskan, tidak memihak pada kelompok tertentu terkait munculnya dua Kesultanan Palembang Darussalam. (Syafei Prabu Diraja Sultan Mahmud Badaruddin III dan Iskandar Mahmud Badaruddin III).
Meski demikian, Pemkot Palembang membutuhkan Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai bagian dari objek pariwisata sejarah di Palembang. ”Menyikapi munculnya dua Kesultanan Palembang Darussalam, kami berdiri di tengahtengah,” ujar Kabag TU Dinas Pariwisata Kota Palembang Bukman, pada ”Diskusi Pelurusan Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam” yang dilaksanakan Tim 17 Palembang Darussalam di Auditorium IAIN Raden Fatah Palembang, beberapa waktu lalu.
Saat ini, kata dia, pemerintah sedang giatnya mengelola program pariwisata seperti Visit Musi 2008. Mengenai perbedaan status dua sultan, Bukman mengimbau agar kedua pihak melakukan usaha perunutan sejarah. Misalnya dengan mencari silsilah dari anak keturunan SMB II yang ada di Ternate, kemudian melakukan usaha pelacakan bukti-bukti peninggalan yang mengarah pada penentuan garis keturunan yang sah. ”Menurut saya, hal seperti ini penting dilakukan. Apalagi, anak keturunan SMB II lebih banyak hidup di Ternate. Jadi, diskusi pelurusan sejarah ini bukan hasil final, melainkan langkah awal dari kerja yang sangat berat dan panjang” tegas dia.
Ketua pelaksana kegiatan dr Hj Alfa SA Gadjanata mengatakan, dari hasil pertemuan raja/sultan/pemangku adat se-Nusantara pada 29 Mei 2007 di Ruang Tanah Beru Losari Beach Makasar Sulawesi Selatan, yang dihadiri 25 keraton (kesultanan). Acara juga dihadiri SMB III Prabu Diraja, menghasilkan keputusan, di antaranya raja/sultan/ pemangku adat sebagai pengayom budaya sebaiknya tidak masuk wilayah politik, kemudian sultan berkewajiban melakukan pendekatan spiritual sebagaimana dilakukan leluhurnya.
Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara (FSKN) dengan tegas menolak Deklarasi Sambas (Kalbar) dan tidak ada hubungannya dengan FSKN dalam hal penyelenggaraan Pagelaran Seni Budaya Keraton se-Nusantara (PSBKN). Selanjutnya, mengklarifikasi penunjukan tentang penyelenggaraan Pagelaran Seni Budaya Keraton se-Nusantara (PSBKN) III di Palembang. Penunjukan ini akan ditentukan dan diputuskan pada Musyawarah Agung FSKN I di Bali. Terakhir, utusan yang diakui dalam FSKN adalah Syafei Prabu Diraja, SMB III. (muhamad uzair/sindo)

8 Tanggapan to “Kesultanan Berujung Perpecahan”

  1. Kiagus Ismail Hamzah berkata

    Biasolah wong palembang mak itu, sesamo dolor dewek belago berebut kekuasaan..(kekuasaan hampa…?)
    kalu nak mengklaim mak itu, banyak yang boleh jugo mengklaim dong…kareno misalnya aku; dari nenek ku sebelah ayah, aku keturunan Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, dan dari datuk sebelah Ayah (ayahku mentelu dr Nyayu Hj Alfa SA Gadjanata), aku adalah keturunan dari Sultan Hadiwijaya (Demak) dari anaknyo yang bernamo Pangeran Abdul Rahman Kertomenggolo (Pangeran Keling)
    Aku berbahagio dengan adonyo sultan Palembang…tapi tolong jangan belago….
    menurutku yang paling berhak diangkat menjadi sultan adalah yang diangkat oleh Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam
    • kmsmahmud80 berkata

      asalamualaikum wr.wb. waahhh…. ternyata kebohongan publik semakin besar ya…..
      tolong dong pencetakan nama yang benar…
      Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja nama sebenarnya adalah Raden Muhammad Sjafei Diradja bukan Raden Mas…. inilah istilah yang digunakan belanda untuk memutar balik fakta
      sedangkan ketua HZKPD bernama Iskanda Harun, yang diberi Gelar Sultan untuk jangka waktu 5 tahun sesuai AD/ART LSM……..
      jadi HZKPD disini posisinya hanya gelar dalam lingkum LSM dan tidak boleh dipakai diluar, nanti Presiden kita bisa banyak dong…. dari presiden direktur sampai presiden becak maunya diakui sebagai presiden indonesia…. tolong kalau buat cerita atau sejarah yang jelas…
      dan tolong selama ini saya tidak pernah melihat silsilah keluarga ketua HZKPD yang mengaku sultan karena di seluruh dunia yang mengaku sebagai sultan berdasarkan garis nasab (keturunan) terima kasih wasalamualaikum wr.wb.
  2. Djenambang Bin Tandjak berkata

    Astagfirulloh..!
    Kenapa tidak ada ahli sejarah dari sumatera selatan yang berani menulis tentang silsilah raja-raja dari Palembang dan seterusnya. Mudah-mudahan ini bukan bertanda, bahwa orang-orang Palembang itu kurang “cerdas” dalam menyikapi budaya leluhur.
    • helmi berkata

      aslmkm kanda djenambang bin tandjak sebenarnya kalau anda mau bertanya silsilah raja-raja palembang sebenarnya sudah ada sejak dulu saya saja generasi muda sudah mengetahuinya sejak dulu apakah anda sudah pernah ziarah kemakam2 raja palembang karna banyak silsilah tersimpan diantara makam2 raja palembang tsb seperti di makam saba ing kingking di 2 ilir dan mengenai tulisan anda orang palembang kurang cerdas dlm menyikapi budaya leluhur rasanya kurang pas…bagi saya karna waktu saya tinggal di bdg banyak orang2 dari dusun kl ditanya aslinya orang mana ngakunya orang palembang apakah orang dusun2 termasuk gol orang palembang yg kurang cerdas kah…dalam menyikapi budayanya wkmslm
  3. infokito™ berkata

    @Djenambang Bin Tandjak
    Silahkan anda berkunjung ke alamat ini
    http://infokito.wordpress.com/2007/12/06/daftar-penguasa-dan-sultan-palembang-darussalam/
    atau alamat ini
    http://infokito.net/daftar-penguasa-dan-sultan-palembang-darussalam/
    Sebagai catatan, bahwa tiap2 keturunan mempunyai silsilah masing2 yang berbeda dan ini sangat tidak mungkin membuat keseluruhannya.
    Perlu anda ketahui, bahwa masing2 keluarga (asli) Palembang mempunyai tradisi membuat silsilah turun temurun mereka. Budaya ini masih ada di kota Palembang.
    Literatur2 yang mengungkap sedikit demi sedikit sejarah Palembang un dapat anda temukan di sini. :!:
  4. helmi berkata

    aslmkm menurut saya yang terpenting diantara kedua sultan ini terjalin hubungan yg baik diantara satu dengan yg lainnya krana kedua sultan ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing2 yg terpenting apa yg sudah diperbuat kedua sultan ini demi kemajuan palembang darussalam yg kita cintai ini buat pengikut dan pendukung kedua sultan jangan merasa lebih berhak karna hal semacam inilah yg menjadikan perpecahan sesama kita….buat rakyat palembang jgnlah karna adanya kedua sultan memberikan komentar yg menyesatkan dan berlebihan lebih baik kita mengambil positifnya saja saya rasa dengan adanya kedua sultan ini kita mesti wajib menghormati mereka….karna mereka sama-sama mempunyai niat menghidupkan kembali kesultanan palembang darussalam sebagai simbol budaya dan mempererat kerukunan sesama keturunan orang palembang yg selama ini terpecah belah yg terpenting lagi lepaskan ego masing2 lebih baik kita sama2 mencari persamaan dari pada perbedaan guna menjalani masa depan yg lebih baik….wkmslm
    • kmsmahmud80 berkata

      Assalamualaikum. wr.wb.
      terpenting lihat dulu garis nasabnya
      sultan di seluruh dunia menggunakan garis nasab bukan dari akte organisasi dan AD/ART
      jadi kumpulkan kedua sultan dan periksa dulu silsilah keduanya
      terima kasih
      wass.wr.wb
  5. Eman Rais berkata

    Mohon ijin kopas ke http://caping-palembang.blogspot.com/ sebagai sumbang saran dan fikir bagi kemajuan masadepan Kesultanan Palembang Darussalam. Terimakasih

Palembang 2 Sultan

Agaknya sejarah kembali berulang, Ketika Sri Wijaya runtuh hingga muncul Palembang Darussalam perlu masa 800 tahun. Demikian juga setelah pada 1823 Kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan Belanda, perlu waktu lk.200 tahun untuk mengangkat Sultan yang baru!!!
Masalahnya ini bukan soalan yang mudah....
Pada tahun 2003 (Dzulhijjah 1423) Majlis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang Darussalam resmi mengangkat Raden Muhammad Sjafei Prabu Diradja bin Raden Haji Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV sebagai Sultan bagi Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III). Beliau bersusur galur kepada Sultan Mahmud Badaruddin II dari selir/permaisuri ke 6 Ratu Ulu Zubaidah.
Tetapi tiga tahun kemudian pada tahun 2006 (Syawal 1427) Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam mengangkat Raden Mahmud Badaruddin bin Raden Harun Cek Syeh sebagai Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Beliau bersusur galur kepada Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (Sultan kedua Kesultanan Palembang Darussalam).
Menurut budayawan Palembang, Djohan Hanafiah, dari pengakuan keluarga turunan Sultan Mahmud Badaruddin II di Ternate, Belanda pernah menawarkan Sultan Mahmud Badaruddin II (saat beliau diasingkan ke Ternate oleh Belanda karena menggempur markas Belanda di Sungai Aur) agar mau kembali memimpin Palembang Darussalam. Tapi, tawaran itu ditepis Sultan Mahmud Badaruddin II.
"Beliau menolak lantaran tidak mau terjadi perpecahan di Palembang. Beliau pun berpesan, sebaiknya Kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan," kata Djohan mengutip keterangan itu.
Jadi, tidaklah heran, setelah Belanda berhasil diusir dari nusantara, para turunan bangsawan di Palembang tidak mendeklarasikan Kesultanan Palembang Darussalam. Mereka memegang teguh amanat Sultan Mahmud Badaruddin II tersebut.
Hanya sebatas gelar adat. Tapi, perlu juga dicatat, dia bukan Sultan Palembang Darussalam seperti yang pernah dipegang Mahmud Badaruddin II. Melainkan simbol budaya untuk terus mengekalkan budaya dan nilai-nilai ketimuran agar terus bertahan hingga akhir zaman. Setuju!!!


Jadi Siapo nian sultan Palembang nan sekarang tu?
Aimak..tanyo dewek samo wong Palembang...makmano pacak milih kalo sejarahnyo bae idak ngerti..yo idak mangcek?
 
18 CommentsChronological   Reverse   Threaded
karimsh wrote on Nov 21, '07
He he he...siapo nian yeh???
karimsh wrote on Nov 21, '07, edited on Nov 21, '07
"Beliau menolak lantaran tidak mau terjadi perpecahan di Palembang. Beliau pun berpesan, sebaiknya Kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan,"
Benar2 jiwa kepemimpinan Sejati :-)
sriandalas wrote on Nov 21, '07
heheh..nasib baik ini sultan buat pengayom budaya ya..
coba sultan yang benaran (penguasa negeri)..boleh jadi pertumpahan darah sesamo wong palembang...
basing bae mangcek...
karimsh wrote on Nov 21, '07
he he he...Sekarang nih bukan keturunan rajo2 yang nak pertumpahan darah, tapi rajo2 kecik di daerah (Gubernur/walikota/ Bupati) yang abes Pilkada, xixixixixixixix...samolah pecak di jawo kan (Solo & Yogya) sekarang nih cuma simbol bae....
sriandalas wrote on Nov 21, '07
heheh..ho'o..
tapi menurut aku 'sultan' itu perlu..(meski sebagai simbol budaya sajo)
tujuannyo makmano kito selalu ingat sopan-santun, budayo lamo, adat timur nan lah lamo nian idak kito pedulikan...
di solo..pernah juga ada 2 sunan, tapi akhirnya salah satu harus berbesar hati mengalah..di kesultanan cirebon juga ricuh 2 sultan...
Biasolah mangcek...sultan jaman dulu...selir tu banyak nian...
karimsh wrote on Nov 21, '07
tujuannyo makmano kito selalu ingat sopan-santun, budayo lamo, adat timur nan lah lamo nian idak kito pedulikan...
Setuju nian aku :-) tapi Sultan yg banyak selir nih, la perkaro biaso mang cek...la dasarnyo nian sultan2 yang kayo tuh ke kanjian nak bebini bae, xixixixixixixixixixixixixi=))
bambangpriantono wrote on Nov 21, '07
Memang kerajaan2 di Indonesia saat ini cuma sebagai simbol budaya kok. Kecuali Jogjakarta yang memang punya hak istimewa...sungguh hebat sistem republik ini ya
sriandalas wrote on Nov 22, '07
Sultan Jogja sudah bertekad mundur dari jabatan gubernur DIY, jika demikian maka kesultanan jogja akan sama dengan kesultanan2 lain di Indonesia yaitu hanya sebagai simbol budaya dan tidak masuk ke ranah politik...
Mungkinkah kehendak beliau ini untuk menegah tendensi sultan2 wilayah lain yang ingin masuk ke ranah politik dengan mengambil alasan DIY?
Bisa terpecah belah kan?
untung beliau berbesar hati undur dari panggung politik...
jadi harap maklum mungkin DIY (daerah Istimewa Yogya) nanti bakalan tidak istimewa lagi...karena sama dengan daerah lain (memilih gubernur dengan pilkada/pilihan raya dan bukan atas salasilah kraton/kesultanan)
tuneman wrote on Nov 22, '07
Prabudiradja
ada unsur2 Jawa yah?
sriandalas wrote on Nov 22, '07
mak itu lah...
(palembang for 'macam itu lah...')
agamfat wrote on Nov 22, '07
memang berbahaya sekali kalau raja-raja sekarang ingin menjadi bupati. Keluarga kedatuan (kerajaan) Luwu di Sulawesi Selatan sekarang juga menguasai bupati di daerah Luwu (Palopo, Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur). orang masih memilih berdasarkan: dari keluarga mana dia.
berbahaya sekali kalau keluarga kerajaan menjadi pejabat publik, karena akan melestarikan feodalisme.

kembali ke tulisan awal, reputasi kraton akan semakin jatuh jika ada perebutan kekuasaan antara anak-anak raja sekarang. memang perlu kebesaran hati dari salah satu pihak untuk mengembalikan kejayaan (budaya) kraton
sriandalas wrote on Nov 22, '07
iya..
udah dengar yang di Maluku Utara itu?
Sultan Ternate tidak masuk calon gubernur..maka rusuhlah daerah itu..
orang mungkin sekarang masuk tahap post-modernisme...
romantisme kedatuan/kerajaan muncul lagi...

Contoh yang baik mungkin sebagaimana di semenanjung...atau jogja...
dimana sultan sebagai simbol budaya saja..
nysfadlun wrote on Feb 5, '08
I would like to say that u have a very- very special blog! very informatif! I hope you always write cover both side stories and with a backup from many resources.
Keep goin on!...It's nice to know your blog.
nikrakib wrote on May 27, '08
menarik sekali blog anda, nanti ada masa ingin load cerita dan foto untuk ngajar anak-anak di PSU Selatan Thailand
margani wrote on Jun 24, '09
Sultannyo ado duo ? Dak ngapo-ngapo, mang. Daripado sikok lemak duo. Iyo dak ? Untung dak tigo....empat....limo. Tambah banyak sultan tambah lemak. Tapi ngomong-ngomong, budaya Plembang tu nyang mak mano ? Bagian manonyo nyang nak dikekalkan ?
Comment deleted at the request of the author.
iksanra wrote on Oct 22, '09
Coba blajar di Kesultanan Tidore, ketika putera Sultan terakhir (Zaenal Abidin Syah ; mantan Gubernur Irian Barat) tidak bersedia dingkat jadi raja (udah jadi dosen di UGM?), Dewan Kerajaan bermusyawarah dan mengangkat Djafar Syah sebagai Sultan barunya dari rumpun keluarga Kesultanan Tidore, pada akhirnya semua bisa menerima keputusan itu. Walaupun tentunya dari pihak keluarga yg lain kurang sependapat. Namanya keputusan, adalah kesepakatan. Oleh karena itu, angkat dulu dewan kerajaan yang representatif, baru kemudian dewan ini mengangkat Sultan berdasarkan musyawarah. Yang penting Sultannya mampu menjaga budaya dan meningkatkan perannya sebagai pengemban misi Keimanan Islam di wilayah Palembang, sebagaimana maksud didirikannya Kesultanan Palembang waktu itu. dari R. Iksan A. Arsyad (Ternate).
keyus4559 wrote on Oct 22, '09
Semua pendapat di atas, aku hargai, meskipun menurut aku, duo sultan pacak kerja samo itu lebih baik, tapi mun ado pendapat lainnyo indak masalah, sendak-ndak-nyo segalo pendapat ini, pacak jadi acuan pemikiran dan menghasilkan kesimpulan terbaik bagi masa Depan Kesultanan yang kito cintai, okey !? Salam buat wong kiti galo
http://sriandalas.multiply.com/journal/item/163/SATU_KESULTANAN_DUA_SULTAN_ALAMAK_PELIKNYA....

Sejarah Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang Darussalam

Keraton Kuto Gawang atau Kerajaan Palembang
Gambar ini merupakan Kraton Kerajaan Palembang Kuto Gawang sebelum Kraton dan Kota Palembang dibakar habis oleh Kompeni dalam perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659.
1. Sejarah
Menurut riwayat, berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam diawali dengan eksistensi Kerajaan Palembang pada abad ke-15. Berdirinya Kerajaan Palembang merupakan dampak atas penaklukan Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit pada tahun 1375 Masehi (Nugroho Notosusanto & Marwati Djoenoed, 1993:71). Selepas penaklukan, ternyata Majapahit tidak dapat mengontrol wilayah Sriwijaya dengan baik yang berakibat terjadinya dominasi oleh para saudagar dari Cina (Tiongkok) di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Palembang itu.
Atas pengaruh dari orang-orang Cina itu, besar kemungkinan bahwa itulah asal-muasal penamaan “Palembang”. Salah satu faktor penguatnya adalah seperti yang tercantum dalam karya dua orang penulis asal Cina, yakni Chau Ju Kua dengan karya berjudul Chufanshi (1225 M) dan Toa Cih Lio hasil karya Wong Ta Yuan (1345 – 1350 M). Dalam kedua karya tersebut tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang di wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Palembang (Djohan Hanafiah, 1995:16; www.unitkerja.palembang.go.id).
a. Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam
Pengaruh kuat orang-orang Cina berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Cina. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas (http://dodinp.multiply.com/journal/).
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu perempuan keturunan Cina yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M) (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti, 2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193). Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam (http://id.wikipedia.org).
b. Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing Lago (Jaya di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia memenangkan peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede (Kelurahan 32 Ilir, Palembang) (Badaruddin, 2008:21).
Sepeninggal Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan tahta di Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya Pangeran Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin, menolak keputusan itu dan melakukan perlawanan.
Sultan Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua keponakannya itu dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin sebagai Sultan Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 3 sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur pemerintahan, kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi.
Solusi tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih diuntungkan dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin bernama Ratu Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar Sultan Anom Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo Wikramo menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I  (1724 – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:26-27).
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin. Selain itu, Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia pernah menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah, dan lain sebagainya (Badaruddin, 2008:27).
Sultan Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan dan perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia telah melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju, misalnya dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah Tekurep (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang (1738 M) (Badaruddin, 2008:27-28).
Masjid Agung Palembang
Sultan Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17 September 1757 M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M). Pada masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun menara Masjid Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak perdagangan dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M) (Badaruddin, 2008:31-32).
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng Kuto Besak. Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah satu pusat sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin wafat pada tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M (Badaruddin, 2008:33-34).
Benteng Kuto Besak
Penggantinya adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821). Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam Besar Masjid Agung, ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya, dan Nasib Seorang Ksatria Signor Kastro (Badaruddin, 2008:35).
Sultan Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris dan Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984 (Badaruddin, 2008:36).
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman atau lebih dikenal dengan Sultan Badaruddin II.
Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, beliau mengangkat Pangeran Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) (Badaruddin, 2008:7, 37, 39). 
Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik dari Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II pernah hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818.
Selain itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang. Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu  pada 1819 (Badaruddin, 2008:39-40).
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra sulung dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga di masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Pelantikan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas pemecatan yang dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin II. Meskipun telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II tetap dianggap sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:39-40).
Pada masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di perairan Sungai Musi. Beliau bahu membahu dengan sang ayah (Sultan Badaruddin II) untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi perlawanan ayah-anak ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Sebelum diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke pengasingan karena keterbatasan kapal (Badaruddin, 2008:39-40).
Denah Kraton Kesultanan Palembang Tahun 1811
Keterangan:
                                                                                                     
A. Istana Sultan   
B. Keputren
C. Gerbang utama ke istana D. Paseban
E. Ruang menerima tamu    F. Istana Pengeran Ratu
G. Gerbang uitama ke istana lama  H. Meriam
I. Menara       J. Masjid
Pasca pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh dari Inggris (Badaruddin, 2008:41).
Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan posisi Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di pusat pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada tahun 1823.
Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22 Februari 1825 (Badaruddin, 2008:38). Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom wafat di Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan terakhir di Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823, maka secara resmi Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda (Purwanti, 2004:21).
c. Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam di masa silam membuat beberapa pihak berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah yang mengendap selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun kembali dengan kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin (Taufik Wijaya, 2008 dalam http://dodinp.multiply.com/journal dan Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Ada dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian Sumatera Ekspres, pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya Menerima Wangsit”, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H mengaku menjadi Sultan Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit (Taufik Wijaya,  2008 dalam www.detiknews.com).
Kedua, menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, beliau adalah putera dari  Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H. Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II, bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II), bin Sultan Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin I, bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I), bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Tokoh kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18 November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan musyawarah yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Pelantikan beliau dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di halaman Dalam Benteng Kuto Besak (Badaruddin, 2008:43).
Alasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin, 2008:43-44).
2. Silsilah
Penulisan silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini merupakan rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
  1. Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
  2. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
  3. Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
  4. Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
  5. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
  6. Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
  7. Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
  8. Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821)
  9. Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
  10. Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
  11. Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
  12. Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (2003 – sekarang) dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
3. Sistem Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan (Hanafiah, 1995:169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman pernah melangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam (Hanafiah, 1995:169).
Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak sampai musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya, tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan (B.J.O Schrieke, 1974 dalam Hanafiah:169-170)
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M) bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-Undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih ke bentuk kesultanan.
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40 dalam Hanafiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille (1971:40 dan 57),
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka … telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan daripada kekuasaan” (P. dee Roo de Faille, 1971 dalam Hanafiah, 1995:170).
Secara stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1.      Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
2.      Kepungutan
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini menjadi hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran (Hanafiah, 1995:171).
3.      Sikap
Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan keperluan-keperluan istana (Hanafiah, 1995:171). Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang (pemimpin suatu wilayah di luar ibukota kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikap), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam berawal dari daerah hulu Sungai Palembang (Kuto Gawang, lokasi Pabrik Pupuk Sriwijaya (PUSRI) (Purwanti, 2004:20). Wilayah kekuasaan tersebut kemudian menyebar ke Beringin Janggut (kini berada di daerah yang dikenal degan Masjid Lama di Jalan Segaran) (http://id.wikipedia.org/).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti  Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman (Hanafiah, 1995:197-200).
(Tunggul Tauladan/Ker/01/12-2009)
Referensi
  • B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
  • Brawijaya ”  diunduh dari http://id.wikipedia.org.
  • Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
  • J.W. van Royen. 1927. De Palembangsche Marga en Haar Grond-en Waterrechten. Leiden : GL van den Berg dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
  • Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
  • “Kesultanan Demak”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
  • “Kesultanan Mataram”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
  • “Kesultanan Pajang“, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
  • “Kesultanan Palembang”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada tanggal 16 Desember 2009.
  • Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.
  • L. Mardiwarsito. 1986. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Endeh: Nusa Indah dalam Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
  • Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
  • P. dee Roo Faille. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
  • “Raden Patah”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 15 Desember 2009.
  • Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
  • “Sejarah Kota Palembang”. 2008, diunduh dari unitkerja.palembang.go.id., pada 14 Desember 2009
  • Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
  • Taufik Wijaya. 2008. “Polemik Sultan Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 12 Desember 2009). 
Sumber Foto
 http://melayuonline.com/ind/history/dig/389