Selasa, 03 Januari 2012

MEMBEDAH DUALISME KESULTANAN MELALUI GARIS NASAB DAN SILSILAH

MEMBEDAH DUALISME KESULTANAN MELALUI GARIS NASAB DAN SILSILAH http://fps2b.blogspot.com/2007/10/membedah-dualisme-kesultanan.html

Oleh : Kemas Ari dan H. Ahmadi

Membaca berita yang dimuat oleh Berita Pagi tentang Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam, Minggu 1 Juli 2007. membuat saya tertarik untuk sedikit menulis, dan awalnya saya hanya mengikuti saja berita-berita tersebut di media massa sejak Nopember 2006, dan terakhir pada Diskusi pelurusan sejarah Kesultanan Palembang Darussalam (KPD) yang diadakan di Auditorium IAIN Radn Fatah 30 Juni 2007, terlepas dari siapa penyelenggaranya serta apa yang ingin dicapai serta manfaatnya. Saya Melihat akar permasalahan sebenarnya berawal dari penobatan Sultan Iskandar sebagai sultan yang kedua (19/11/2006) jauh sebelumnya (3/3/2003) telah dinobatkan SMB III Prabudiradja, dan yang menjadi akar permasalahan adalah masalah Legitimasi dan Legalisasi Sultan yang bedasarkan ahli nasab dan silsilah.Untuk mencari siapa sebenarnya yang lebih berhak untuk menjadi Sultan Palembang sebagai penerus Sultan-sultan Kesultanan Palembang Darussalam tentulah harus melihat Garis Nasab dan Silsilahnya Serta bukti-bukti lain yang mendukungnya atau setidaknya mana diantara keduanya yang lebih mendekati. Untuk itu perlu pemahaman terlebih dahulu tentang Silsilah dan Nasab. Silsilah berasal dari kata/bahasa arab, yang bisa diartikan “Hubungan yang berkesinambungan” atau mata rantai dalam pertalian keluarga. Sedangkan yang dimaksud Nasab adalah Keturunan langsung berdasarkan Hubungan Darah. Jadi Nasab dan Silsilah itu suatu definisi yang berbeda namun erat kaitannya, meskipun demikian banyak terjadi kesalahan dalam penafsiran antara silsilah dan Nasab.Perbedaan definisi itu sangat jelas apabila kita merujuk pada suatu hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi Kullu Bani Adam Yantamuuna ila Asobatin illa waladun Fatimatin Fa’ ana Waliyuhum wa ‘ana Asobatuhum (HR. Thobroni Muslim dan Abu Ya’ala). Yang artinya : Semua Bani Adam (Manusia) mempunyai ikatan Nasab Ayahnya kecuali anak-anak Fatimah, akulah walinya (Ayahnya) dan Akulah asobah (ikatan Keturunan) mereka. Menyikapi hadist Nabi ini jangan sampai kita masih terjebak dengan definisi Nasab dan Silsilah yang keliru.Pada dasarnya kita sebagai manusia tentu mempunya garis nasab keatas yaitu Ayah, Kakek, Buyut, Piyut dan seterusnya. namun seringkali kita tidak mengetahui atau memiliki silsilah yang jelas. Hal ini terjadi karena kelalaian, dan kebodohan kita sendiri yang tidak meneruskan Tradisi leluhur kita yang sejak dulu selalu membuat Silsilah keluarga agar dikemudian hari anak cucu kita mengetahu garis Nasab dan silsliah keluarganya jangan sampai ketika mengaku sesama wong Palembang tapi ketika ditanya Nasab dan silsilahnya tidak tau jangankan untuk menguraikan 7 turunan keatas mungkin menyebut 4 keturunan keatas saja kita sudah kebingungan, coba tanyakan pada diri kita masing-masing.Hai Inilah yang menyebabkan terjadinya Dualisme Kesultanan Palembang Darussalam seharusnya jika kita tidak tahu dengan jelas garis Nasab dan Silsilah hendaknya kita mencari tahu terlebih dahulu, kemudian dicocokan dan akan diketahui siapa sebenarnya yang lebih cocok untuk menjadi sultan paling tidak mendekati kebenaran. Jangan dibuat seolah-olah benar, jika ini terjadi maka kita akan merusak sejarah dan keluarga kita sendiri hasil akhirnya permusuhan dan perpechan. contoh yang lain, ketika saya berkunjung ke Museum SMB II (Dinas Pariwisata Kota Palembang) saya sangat-sangat terkejut karena disana ada dua Silsilah Kesultanan Palembang yang berbeda. Silsilah pertama dibuat oleh Djohan Hanafiah (Budayawan) dan yang satunya lagi dibuat oleh R.M. Husin Natodiradjo, kedua silsilah ini menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kenapa ini bisa terjadi?.Jika kita memperhatikan dengan cermat dan teliti, maka akan Ada dua penapsiran yang berbeda seharusnya ini tidak perlu terjadi. Di bagian Jero (dalam) merujuk kepada Raden Paku atau Sunan Giri hingga ke Nabi Muhammad SAW. Sedangkan yang dibagian luan (luar) merujuk ke Raden Fatah hingga ke Nabi Muhammad SAW. Begitu juga didalam beberapa buku sejarah Kesultanan Palembang Darussalam masing-masing membuat silsilah yang berbeda misalnya buku M. Ali Amin dalam buku KHO Gadjahnata akan berbeda silsilahnya dengan buku yang dibuat oleh Kiagus Mas’ud dan pengarang yang lain, kenapa ini bisa terjadi? Jangan-jangan ada yang membelokan sejarah. Itulah sebabnya saya melihat Dualisme Sultan ini muncul kepermukaan karena ada yang membelokkan sejarah untuk mendapatkan Legitimasi dan legalisasi. Palembang dengan sejarahnya yang panjang memang sangat menarik untuk kembali diteliti atau dikaji ibarat mutiara yang hilang (terpendam), Para Sejarawan/Budayawan/Agamawan/ dan Arkeolog hingga pekerja senipun tertarik untuk ikut mengkajinya.
Memang tidak menjadi masalah bukankah sejarah itu sesuatu yang universal (umum) tapi jangan dibelok-belokan, kalo boleh mengutip Istilah yang disampaikan Saudi Berlian dalam makalahnya tentang Legitimasi Sosial bahwa dalam sejarah manusia akan ada yang tetap berjalan lurus meskipun jalannya tidak lurus, sebalikanya akan ada yang berjalan tidak lurus meskipun jalanya lurus, bukankah ini sebuah ironi? Inilah kenyataan meskipun kita selalu berdo’a kepada sang pencipta untuk ditunjukkan jalan yang lurus “...Ya Allah tunjukkan aku jalan yang lurus, jalan yang engkau ridhoi.....”dst. tentu akan ada saja orang-orang dibalik layar yang sengaja membelokkan sejarah, biasanya orang ini termasuk orang yang suka “SMS” yaitu Susah Melihat orang Senang dan Senang Melihat orang Susah. Mudah-mudahan kita dihindari dari sifat ini.Dengan kehadiran atau munculnya dualisme Kesultanan, yang mengundang banyak perdebatan sebaiknya diselesaikan dengancara baik dan musyawarah janganlah terlalu menurutkan hawa nafsu hingga membuat kebingungan banyak orang mulai dari kalangan atas hingga orang-orang awam turut bingung seperti kata Ahmad Bastari Suan dalam judul makalahnya sebaiknya “Satu Palembang satu Sultan” agar kita terhindar dari Adu Domba (Devide at Impera) orang/kelompok lain yang memang ingin memecah belah persatuan kita selaku wong Palembang, sadarkah engkau saudaraku?.Dalam menyikapin hal ini tidak hanya sejarahwan/budayawan saja yang harus berperan aktif namun diharapkan peranan aktif dari berbagai pihak yang dianggap mampu untuk dapat menyelesaikan permasalahan ini misalnya pemerintah serta tokoh-tokoh Ulama dan Habaib, bukankah sejak dulu para Ulama dan Habaib selalu menjadi guru sekaligus Penasehat Sultan bahkan ada yang dijadikan Menantu! kenapa sekarang para ulama dan Habaib diam saja?, saya pun menjadi bingung. Apakah semua ini disebabkan oleh ketidak tahuan? atau memang tidik peduli?, mungkin juga sengaja dibiarkan dengan alasan ini kan bukan urusan saya! Mengutip Ungkapan dari Mantan Presiden kita “Gusdur”. “Gitu aja kok repot..”!!Melihat dari dekat sejarah panjang dari Sejarah KPD sejak awal berdirinya, dasar yang dijadikan rujukkan adalah hukum Islam meskipun tidak dijalankan seratus persen, namun tetap berusaha untuk tidak menyimpang jauh dari Syariat Islam. Bila berdirinya Demak tidak terlepas dari peran Wali songo di Pulau Jawa dan yang menjadi Mufti para wali pemimpin umat pada waktu itu adalah Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Begitu juga dengan KPD tanpa diprakarsai peran Ulama dan Habaib rasanya sulit untuk mendapatkan Legitimasi dan Legalisasi umat (wong Palembang).
Dikarenakan didalam diri pribadi seorang Sultan harus mempunyai sifat-sifat Nabi yaitu Fatonah, Amanat, Siddik, dan Tabligh bukankah dalam diri sultan itu sendiri memang sosok yang agamawan sebagai panutan umat hal ini terbukti dengan gelar sultan Abdurrahman yang bergelar Kholifatul Mukminin Sayidul Imam Ia pun sebagai pendiri Kesultanan dan pemberlakuan Islam sebagai agama negara (Kesultanan). Jadi peran Ulama serta Habaib sangat diperlukan apalagi dengan munculnya Dualisme Sultan. Garis Nasab dan Silsilah harus dijadikan rujukan utama, mau tidak mau Ulama dan Habaib merupakan faktor penting yang bisa menetralisir keadaan, jangan sampai konflik ini terus berkepanjangan. Libatkan semua komponen bila dirasakan perlu!.Timbul pertanyaan Mengapa harus ulama/Habaib? Jawabnya Ulama dan Habaib mempunyai pertanggung jawababan ganda: 1. Sebagai orang Islam Ulama dan Habaib serta kita semua, berkewajiban untuk menegakkan Syarait Islam 2. sebagai keturunan nabi Muhammad SAW. Adalah kaum yang memiliki eksistensi dalam soal nasab serta silsilah. Jangan sampai para Ulama dan Habaib semakin ditinggalkan oleh umat atas ketidak peduliannya tidak responsif terhadap permasalahan yang ada.Sebagai renungan dalam catatan sejarah bahwa bahwa Sultan M. Mansyur berkata dengan bijak dan sangat jelas ketika melihat akan terjadinya dualisme kesultanan, terlihat sikapnya sebagai seorang Sultan beliau menyatakan dengan kalimat bahwa....”Adiknyalah yang pantas untuk meneruskan trah kesultanan”, namun apabila melihat putranya yang memiliki karisma beliau juga menyatakan bahwa “Putranya lebih pantas dan berhak untuk melanjutkan kesultanan”. Akhir dari kejadian ini maka SMB I dapat membuktikan bahwa memang dirinya mampu untuk mempersatukan KPD dalam satu pemerintahan.
Dilihat dari peristiwa tersebut diatas mungkinkah dijaman reformasi ini bisa dijadikan landasan untuk menjadikan Palembang yang satu dalam membangun Pemerintahan, agama, adat istiadat, serta budaya Palembang yang hampir punah seiring perjalanan waktu. Tentu jawabannya seperti yang telah saya tulis diatas membutuhkan semua peranan dari berbagai pihak termasuk Ulama dan Umaro serta Sejarahwa, maupun Budayawan. Karena urusan Dualisme Sultan bukan hanya urusan keluarga semata tetapi menjadi urusan dan bagian kita semua sebagai Wong Palembang. Apalagi SMB II telah menjadi Pahlawan Nasional tentu ini menjadi bagian dari bangsa Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. sebagaimana Jogjakarta, dan Palembang tanpa Sultan ibarat negeri yang tak bertuan. Bukankah kita sepakat ingin menjadi negeri ini sebagai tempat yang aman dan tenteram seperti nama Kerajaan kita Palembang Darussalam “Palembang Negeri yang Aman”, semoga!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar