Kesultanan Palembang Darussalam

Keraton Kuto Gawang atau Kerajaan Palembang
Gambar  ini merupakan Kraton Kerajaan Palembang Kuto Gawang sebelum Kraton dan  Kota Palembang dibakar habis oleh Kompeni dalam perang antara Kerajaan  Palembang – VOC pada tahun 1659.
1. Sejarah
Menurut  riwayat, berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam diawali dengan  eksistensi Kerajaan Palembang pada abad ke-15. Berdirinya Kerajaan  Palembang merupakan dampak atas penaklukan Kerajaan Sriwijaya  oleh Majapahit pada tahun 1375 Masehi (Nugroho Notosusanto &  Marwati Djoenoed, 1993:71). Selepas penaklukan, ternyata Majapahit tidak  dapat mengontrol wilayah Sriwijaya dengan baik yang berakibat  terjadinya dominasi oleh para saudagar dari Cina (Tiongkok) di wilayah  yang sekarang dikenal dengan nama Palembang itu.
Atas  pengaruh dari orang-orang Cina itu, besar kemungkinan bahwa itulah  asal-muasal penamaan “Palembang”. Salah satu faktor penguatnya adalah  seperti yang tercantum dalam karya dua orang penulis asal Cina, yakni  Chau Ju Kua dengan karya berjudul Chufanshi (1225 M) dan Toa Cih Lio hasil  karya Wong Ta Yuan (1345 – 1350 M). Dalam kedua karya tersebut  tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang di wilayah yang  sekarang kita kenal dengan nama Palembang (Djohan Hanafiah, 1995:16; www.unitkerja.palembang.go.id). 
a. Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam
Pengaruh  kuat orang-orang Cina berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan  utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra  Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya  di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut  kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Cina. Bersama  dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah  Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali  pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas (http://dodinp.multiply.com/journal/). 
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612),  menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas,  Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah,  1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang. 
Arya  Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya  Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang  bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang,  Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445  – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya  Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V,  yaitu perempuan keturunan Cina yang dikenal sebagai Puteri Champa.  Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah  resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden  Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja  pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun  Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 –  1518 M) (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pada  awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang  sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan  sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti,  2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada  sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie).  Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan  Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659  M. 
Dalam  perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja  Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke  Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir).  Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan  Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno  Purwanti, 2004:20).

Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya  Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang  dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman  penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang  dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin  Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan  Palembang Darussalam.
Pemindahan  pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin  Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian  menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai  pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran  Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala  Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin  Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar  Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19). 
Di  masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba  menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193).  Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan  dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat  Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram  (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan  hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan  Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16). 
Jika  dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara  Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja  pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri  Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke  Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M).  Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram  Islam (http://id.wikipedia.org).
b. Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah  Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan Kesultanan  Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan  Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing Lago (Jaya  di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia memenangkan  peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing  Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede (Kelurahan 32 Ilir,  Palembang) (Badaruddin, 2008:21). 
Sepeninggal  Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan tahta di  Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya Pangeran  Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta Kesultanan  Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung Komaruddin  Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan Muhammad Mansyur  Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, yaitu  Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin, menolak keputusan  itu dan melakukan perlawanan.
Sultan  Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua keponakannya itu  dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin sebagai Sultan  Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran Ratu Jayo  Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 3  sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur pemerintahan,  kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi. 
Solusi  tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin  puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih diuntungkan  dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin bernama Ratu  Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar Sultan Anom  Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo Wikramo  menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Sultan  Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I  (1724  – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai  pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:26-27).
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin.  Selain itu, Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia  pernah menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah,  dan lain sebagainya (Badaruddin, 2008:27).
Sultan  Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan Kesultanan  Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan dan  perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia telah  melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju, misalnya  dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah Tekurep  (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang (1738 M) (Badaruddin, 2008:27-28). 

Masjid Agung Palembang
Sultan  Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17 September 1757  M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M). Pada  masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun menara Masjid  Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak perdagangan  dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta  memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa  pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat  pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M) (Badaruddin, 2008:31-32). 
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng Kuto Besak.  Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah satu pusat  sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin wafat pada  tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M (Badaruddin,  2008:33-34).

Benteng Kuto Besak
Penggantinya  adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan Mahmud Badaruddin  Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821).  Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam Besar Masjid Agung,  ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya, dan Nasib Seorang Ksatria Signor Kastro (Badaruddin, 2008:35).
Sultan  Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris dan  Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang  Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam  mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821,  Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III  Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan  Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas  perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan  anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984  (Badaruddin, 2008:36).

Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman atau lebih dikenal dengan Sultan Badaruddin II.
Pada  masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, beliau mengangkat Pangeran  Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II  Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin  merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula  putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III  Pangeran Ratu (1819 - 1821) (Badaruddin, 2008:7, 37, 39).  
Sultan  Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik dari  Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam  memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II pernah  hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818. 
Selain  itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh Inggris  dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang.  Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin  III Pangeran Ratu  pada 1819 (Badaruddin, 2008:39-40).
Sultan  Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra sulung  dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga di  masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara  tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian  dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad  Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin  III Pangeran Ratu (1819 - 1821). 
Pelantikan  Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas pemecatan yang  dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin II. Meskipun  telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II tetap dianggap  sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Palembang Darussalam  (Badaruddin, 2008:39-40).
Pada  masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran  Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di perairan  Sungai Musi. Beliau bahu membahu dengan sang ayah (Sultan Badaruddin II)  untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi perlawanan ayah-anak  ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin  II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate,  Maluku Utara. 
Sebelum  diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu  beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri,  sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke  Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut  setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke  pengasingan karena keterbatasan kapal (Badaruddin, 2008:39-40).

Denah Kraton Kesultanan Palembang Tahun 1811
Keterangan:
A. Istana Sultan      | B. Keputren | 
| C. Gerbang utama ke istana | D. Paseban | 
| E. Ruang menerima tamu | F. Istana Pengeran Ratu | 
| G. Gerbang uitama ke istana lama | H. Meriam | 
| I. Menara | J. Masjid | 
Pasca  pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III  Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad  Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan  Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar  Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin  II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam  berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh  dari Inggris (Badaruddin, 2008:41).
Akibat  berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan posisi  Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom  sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di pusat  pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga  Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar  Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad  Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada tahun 1823. 
Setahun  kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin II Husin  Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu  Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22 Februari  1825 (Badaruddin, 2008:38). Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV  Prabu Anom akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke  Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom wafat di  Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak tertangkapnya Sultan Ahmad  Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan terakhir di Kesultanan Palembang  Darussalam pada tahun 1823, maka secara resmi Kesultanan Palembang  Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda (Purwanti, 2004:21).
c. Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran  Kesultanan Palembang Darussalam di masa silam membuat beberapa pihak  berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah yang mengendap  selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun kembali dengan  kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta Kesultanan  Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja,  S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin (Taufik Wijaya, 2008 dalam http://dodinp.multiply.com/journal dan Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Drs.  Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid  Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di  Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat  di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang  Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H.  sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan  Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (Kemas  Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Ada  dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei  Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian Sumatera Ekspres,  pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya Menerima Wangsit”, Drs.  Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H mengaku menjadi Sultan  Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit (Taufik Wijaya,  2008 dalam www.detiknews.com).
Kedua,  menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden H.  Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari  Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, beliau  adalah putera dari  Raden H. Abdul Hamid Prabu  Diratdjah IV, bin R.H. Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib  Prabu Diratdjah II, bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin  Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan  Badaruddin II), bin Sultan Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad  Najamuddin I, bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan  Badaruddin I), bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan  Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com). 
Tokoh  kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum Himpunan  Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4  September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18 November  2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah berkuasa di  Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan musyawarah  yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan  Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.  Pelantikan beliau dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di halaman  Dalam Benteng Kuto Besak (Badaruddin, 2008:43).
Alasan  penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang  Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden  Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan yang  pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan  Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo  (Badaruddin, 2008:43-44).
2. Silsilah
Penulisan  silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini merupakan  rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam. 
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
- Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
 - Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
 - Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
 - Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
 - Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
 - Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
 - Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
 - Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821)
 - Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
 - Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
 - Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
 - Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (2003 – sekarang) dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
 
3. Sistem Pemerintahan
Menurut  Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan  tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang  pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau  dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan  peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem  (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam  pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi  (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang  Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam  bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah  tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem  perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja  digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan  (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam  mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam  memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap  kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan  (Hanafiah, 1995:169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman pernah  melangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari  perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan  Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan  Palembang Darussalam (Hanafiah, 1995:169).
Selain  menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang  Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat setempat  yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat  yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan  tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak sampai  musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak ulayat  kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya, tetap berlaku  seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah  didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan (B.J.O Schrieke,  1974 dalam Hanafiah:169-170)
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya  merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat  perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh  Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M)  bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam  masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-Undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih ke bentuk kesultanan. 
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan (vastleggen)  hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40 dalam  Hanafiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan  oleh P. dee Roo de Faille (1971:40 dan 57), 
“Orang  Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan  kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka  … telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan  mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan  daripada kekuasaan” (P. dee Roo de Faille, 1971 dalam Hanafiah,  1995:170).
Secara  stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi.  Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus  sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya  pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang  berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah  ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak  didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena  faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka  muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1.      Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
2.      Kepungutan 
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk  memproduksi komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi  ini menjadi hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam  pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran (Hanafiah, 1995:171).
3.      Sikap
Sikap merupakan  suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan  perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya  daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga  pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan keperluan-keperluan  istana (Hanafiah, 1995:171). Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang (pemimpin  suatu wilayah di luar ibukota kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya  sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa  diperkenankan untuk membuka tanah (sikap), namun harus membayar  pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan  priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan  jabatan dan tanahnya.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah  kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam berawal dari daerah hulu  Sungai Palembang (Kuto Gawang, lokasi Pabrik Pupuk Sriwijaya (PUSRI)  (Purwanti, 2004:20). Wilayah kekuasaan tersebut kemudian menyebar ke  Beringin Janggut (kini berada di daerah yang dikenal degan Masjid Lama  di Jalan Segaran) (http://id.wikipedia.org/).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti  Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji).  Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika Kesultanan  Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman  (Hanafiah, 1995:197-200).
(Tunggul Tauladan/Ker/01/12-2009)
Referensi
- B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
 - “Brawijaya ” diunduh dari http://id.wikipedia.org.
 - Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
 - J.W. van Royen. 1927. De Palembangsche Marga en Haar Grond-en Waterrechten. Leiden : GL van den Berg dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
 - Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
 - “Kesultanan Demak”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
 - “Kesultanan Mataram”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
 - “Kesultanan Pajang“, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
 - “Kesultanan Palembang”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada tanggal 16 Desember 2009.
 - Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.
 - L. Mardiwarsito. 1986. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Endeh: Nusa Indah dalam Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
 - Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
 - P. dee Roo Faille. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
 - “Raden Patah”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 15 Desember 2009.
 - Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
 - “Sejarah Kota Palembang”. 2008, diunduh dari unitkerja.palembang.go.id., pada 14 Desember 2009
 - Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
 - Taufik Wijaya. 2008. “Polemik Sultan Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 12 Desember 2009).
 
Sumber Foto
- media.photobucket.com
 - bp3.blogger.com
 - wisatamelayu.com
 - perfspot.com
 - foto-foto.com
 - neoorganizerexpo.blogspot.com
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar